Menjadi anak seorang guru PNS justru membuatku dilema, di saat nilaiku rendah di matapelajaran sekolah, orang akan berkata,"Pecuma anak guru, tetapi kok bodoh".
Tapi di saat nilaiku tinggi, mereka justru berkata,"Wajarlah nilainya tinggi, kan anak seorang guru".
Padahal di saat saya di rumah, semua pelajaran saya lakukan sendiri tanpa derma orang tuaku. Sama sekali bukan minta ajarin atau dilakukan oleh orang tua.
Orang-orang banyak salah kaprah, mereka menilai orang bau tanah seorang guru sanggup menolong anaknya menjalankan soal dirumah.
Padahal guru itu ada jurusannya masing-masing. Mereka cuma berkonsentrasi pada satu bidang matapelajaran. Guru IPS belum pasti sanggup menjalankan soal IPA, guru MTK belum pasti sanggup menjalankan soal Bahasa Inggris.
Apalagi orang tuaku seorang guru agama, mana mungkin sanggup membantuku menjalankan soal IPA, IPS, B.Inggris dan lain-lain.
Selain itu banyak yang menduga menjadi anak seorang guru PNS hidupnya terjamin. Itu salah besar menurutku.
Buktinya saya tidak mendapat akomodasi yang sanggup ditemukan oleh anak petani, pekebun, atau pekerja serabutan.
Ketika anak seorang petani sanggup pergi sekolah pakai sepeda motor, saya pergi sekolah cuma sanggup jalan kaki.
Ketika anak seorang pekebun sanggup sewa kost untuk wilayah tinggal selama sekolah, saya cuma sanggup di asrama yang notabennya ongkos wilayah tinggal lebih murah.
Ketika anak pekerja serabutan sanggup beli baju baru, sepatu baru, dan barang gres di saat pertama kali masuk sekolah, saya cuma sanggup memakai barang seadanya.
Aku bukan merendahkan pekerjaan petani, pekebun, atau pekerja serabutan. Tapi kita semua tahu, honor yang mereka sanggup perbulannya kadang tidak niscaya dibandingkan honor seorang PNS. Namun, justru mereka malah sanggup memamerkan akomodasi terbaik untuk anaknya.
Kadang saya merasa iri dengan mereka yang ayahnya tak punya gelar. Anak-anaknya kadang sulit untuk sekolah, bahkan nilainya sering dibawah nilai raportku, tetapi orang tuanya memamerkan akomodasi yang serba lengkap.
Berbeda dariku, di sekolah saya sering berprestasi, senantiasa jadi juara kelas, sering ikut kontes dan olimpiade, tetapi fasilitasku untuk sekolah sungguh menyedihkan.
Saat SD saya sering sanggup peringkat 5 besar hingga 3 besar. Waktu Sekolah Menengah Pertama saya sering sanggup juara 1 dan 2. Pas Sekolah Menengan Atas nilaiku anjlok gara-gara saya depresi tinggal di asrama. Semester permulaan saya sanggup peringkat ke 7 saja.
Sampai karenanya semester 2 saya menegaskan untuk tinggal dimasjid. Saat itu nilaiku mulai naik menjadi peringkat 5, kemudian kemudian peringkat 2 dan juara 1 terus.
Tapi orang tuaku tidak menyadari itu, setelah saya lulus sekolah dengan nilai yang bikin puas bahkan sanggup lulus SNMPTN (Bisa masuk Universitas tanpa ikut tes), saya malah di masukkan lagi ke asrama.
Padahal waktu saya Sekolah Menengan Atas kelas 1 di asrama nilaiku jauh turun. Ini malah dimasukkan lagi ke asrama di saat kuliah.
Di asrama saya mulai depresi kembali alasannya yakni ada ospek di asrama dan saya kurang suka dengan tingkah laris penghuni asrama.
Mereka suka pakai barang seenaknya. Barang-barang yang sudah dipakai umumnya habis, rusak, atau malah hilang.
Selain itu, pas pertama kali kuliah, kecemburuanku dengan anak petani dan pekerja serabutan semakin menjadi-jadi. Ketika mereka sanggup pergi kuliah dengan tenteram tanpa beban pikiran, saya mesti pergi kuliah antar jemput oleh abangku.
Aku berupaya minta dibelikan sepeda motor tetapi tidak diberikan. Padahal sepeda motor itu untuk saya pergi kuliah, bukan untuk berpoya-poya atau kebut-kebutan dijalan.
Bayangkan, anak yang jelas-jelas tidak macam-macam di sekolah, bahkan sering berprestasi, minta satu hal yang mendukung pendidikan saja tidak sanggup diberikan. Apalagi kalau saya minta barang untuk main-main?
Akhirnya di permulaan semester nilaiku berada di bawah IPK yang seharusnya. Di kuliah, IPK yakni persyaratan nilai yang mesti kita capai dalam satu semester.
IPK tertinggi yakni 4.00, IPK tidak mengecewakan yakni 3.00. Kalau di bawah 3.00 mempunyai arti kurang bagus, dan faktanya semester satu IPK ku di bawah 3.00.
Di asrama saya merasa tidak tenteram dengan lingkungannya, karenanya semester 2 saya menegaskan keluar dari asrama dan mencari kost sendiri dengan duit seadanya.
Aku berupaya hidup tanpa bergantung sama orang tua, alasannya yakni saya merasa mereka sendiri tidak paham dengan abjad anaknya.
Saat kesusahan itu saya cuma sanggup bagikan semua masalahku dengan pacarku, beliau yang banyak membantuku dan menyemangatiku.
Bahkan di saat saya ingin pergi kuliah, saya sering dipinjamkan motor olehnya. Sering saya merasa aib dengan beliau dan orang tuanya. Karena mesti bergantung sama mereka padahal orang tuanya tak punya gelar apa-apa di belakang nama.
Aku kuliah cuma sanggup pakai sepatu bekas abangku, kadang pakai sepeda motornya, kadang pakai sepeda motor pacarku. Rasanya hidupku terlontang lantung di wilayah baru.
Aku sering telat masuk kuliah alasannya yakni keribetan itu, kadang kalau ada dosen yang killer (garang), telat sedikit saja saya tidak sanggup masuk kelas.
Tapi nilai IPK ku setelah keluar dari asrama meningkat jadi di atas 3.00. Aku bahagia dengan peningkatan itu, meskipun saya mesti berpikir gimana caranya mudah-mudahan saya sanggup kerja dan menciptakan duit mudah-mudahan sanggup mirip anak yang lain.
Aku juga tak ingin bergantung terus dengan orang lain, saya ingin punya motor sendiri dan sanggup membiayai kuliah sendiri.
Aku berupaya cari sampingan setelah pulang kuliah, kadang saya ngajar les, ngajar tutorial mencar ilmu ditempat kursus, kadang buka jasa service HP & laptop, kadang saya jualan online sambil jual pulsa ke teman-temanku, kadang saya ikut biro asuransi, kadang saya ikut bisnis MLM.
Beratnya dilema ini membuatku kehilangan semangat untuk berkuliah, kadang saya merasa kelelahan sendiri dan aib sendiri dengan statusku selaku anak seorang guru PNS.
Aku kuliah jadi tidak fokus, di satu segi saya mesti belajar, tetapi di segi lain saya mesti berjuang untuk hidup pantas mirip yang lain.
Sampai karenanya saya molor dalam menyelesaikan kuliahku. Sebetulnya, saya terbilang cepat dalam menguasai bahan kuliah dan sering sekali kalau temanku bingung, mereka mengajukan pertanyaan padaku.
Saat saya sudah menyelesaikan semua mata kuliah, alias tinggal skripsi. Justru teman-temanku ada yang masih kuliah untuk memperbaiki nilai yang masih rendah.
Tapi saya nyangkut di skripsi alasannya yakni terlalu banyak beban pikiranku. Karena di saat di selesai perkuliahan, saya diberikan motor bekas. Kadang motor itu rusak di saat saya mau konsultasi skripsi, itu mengusik sekali.
Sering saya tidak jadi pergi tutorial skripsi alasannya yakni ada dilema dijalan. Sampai-sampai temanku yang nilainya anjlok justru lebih singkat lulus dibandingkan aku.
Kadang ada timbul rasa aib di saat statusku selaku anak PNS cuma sanggup pakai sepeda motor butut, sementara teman-temanku yang dari keluarga kelemahan pakai sepeda motor keluaran terbaru.
Yang lebih miris di saat orang bau tanah membandingkan anaknya dengan anak orang lain. Tapi mereka tidak pernah membandingkan dirinya dengan orang bau tanah lain.
Kadang mereka bertanya,"Kenapa kau kok belum lulus sedangkan anak si A udah lulus?"
Ingin rasanya menjawab,"Kenapa kalian tidak memamerkan akomodasi yang serupa mirip yang diberikan si A ke anaknya?"
Lalu bilang,"Orang lain menanam biji kurma, kemudian timbul kurma. Sementara diri sendiri menanam biji kelapa berharap timbul buah kurma. Itu tidak mungkin."
Tapi ucapan itu saya simpan sendiri ketimbang cuma akan menyakitkan. Aku lebih menentukan diam, dan mengelak dari kerumunan keluarga ketimbang ditanya hal yang ingin membuatku protes perlakuan mereka selama ini.
Aku jadi lebih sering di kamar ketimbang ngobrol bareng orang yang tidak sadar kesalahan mereka sendiri.
Ada banyak hal yang tidak sanggup saya ceritakan satu persatu. Beginilah hidup, orang cuma sanggup menilai, tetapi tak pernah merasakan.
Berpura-pura tegar walau situasi hati ingin rasanya teriak.
Aku cuma mau berpesan dengan siapa saja tua, semua anak yang sedang mencar ilmu itu butuh motivasi instrinsik (dorongan dari dalam diri atau biasa di sebut kemauan) dan motivasi ekstrinsik (dorongan dari luar atau biasa di sebut lingkungan). Jika salah satunya kurang, maka hasilnya tidak akan maksimal.
Ibarat seorang anak di kasih pulpen dan kertas, tetapi anak tersebut tidak ada kemauan untuk menulis, maka sulit untuk menjadikannya menulis. Artinya kalau lingkungannya mendukung, tetapi kemauannya tidak ada, ya sulit.
Begitu juga sebaliknya, menyerupai seorang anak punya kemauan ingin menulis, tetapi tidak diberikan pulpen dan kertas, maka sulit baginya untuk menulis. Artinya anak ini punya kemauan belajar, tetapi tidak di dukung oleh lingkungannya. Sama mirip yang saya alami.
Yang terbaik yakni kemauan dan lingkungan mesti sejalan mudah-mudahan sanggup menciptakan anak yang berprestasi bahkan membanggakan semua orang.
Akhir kata, setiap anak mempunyai abjad dan mental yang berbeda-beda. Kesalahan dalam mendidik justru akan menghancurkan mental anak, mental yang rusak akan melahirkan dilema dan depresi berat berkepanjangan. Jadi, jaga dan kenalilah anak kalian sebelum seluruhnya terlambat.
0 Komentar
Note: Only a member of this blog may post a comment.